Proses Hukum Delpedro Marhaen Picu Sorotan Publik: Kompolnas, Amnesty, DPR, dan KontraS Angkat Suara

banner 468x60

KawanJariNews.com – Jakarta, 11 September 2025Delpedro Marhaen, Direktur Lokataru Foundation, ditangkap setelah demonstrasi besar yang berlangsung pada akhir Agustus lalu. Ia bersama puluhan aktivis lainnya dituduh melakukan penghasutan yang menyebabkan kerusuhan. Penetapan status tersangka ini memicu perdebatan luas karena dinilai berpotensi mengancam kebebasan berpendapat dan ruang demokrasi.

KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) menegaskan bahwa tuduhan penghasutan terhadap Delpedro dapat menjadi bentuk kriminalisasi, yang justru membungkam partisipasi anak muda dalam demokrasi. Sementara itu, Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) telah mengajukan permohonan penangguhan penahanan kepada penyidik, berharap Delpedro dapat dibebaskan sambil menunggu proses hukum lebih lanjut.

Proses Hukum dan Mekanisme Penetapan Tersangka

Menurut Kompolnas, penetapan tersangka dilakukan setelah penyidik menemukan minimal dua alat bukti yang sah. Proses hukum juga wajib mengikuti Standar Operasional Prosedur (SOP), termasuk penentuan status hukum dalam waktu 24 jam pasca penangkapan. Jika bukti permulaan tidak cukup, maka yang bersangkutan harus segera dibebaskan.

Dalam kasus Delpedro, penyidik memutuskan menetapkan status tersangka, yang memunculkan pertanyaan dari berbagai kalangan: apakah bukti yang ada benar-benar memenuhi unsur pidana penghasutan, ataukah sekadar bentuk kriminalisasi terhadap kebebasan berekspresi?

Pandangan Narasumber

Yusuf Warsyim Anggota Komisi III DPR RI menegaskan bahwa proses hukum harus tetap dalam koridor SOP. Ia menekankan pentingnya menjaga objektivitas aparat dalam setiap penanganan perkara. “Penangkapan harus sesuai SOP. Jika bukti tidak cukup, maka yang bersangkutan seharusnya dibebaskan. Hak-hak tersangka, termasuk hak diam dan hak membela diri, wajib dihormati,” ujarnya.

Kompolnas juga memastikan akan melakukan fungsi pengawasan agar penyidikan berjalan tanpa intimidasi atau kekerasan. Yusuf menambahkan, penyidik tidak boleh menjadikan penetapan tersangka sebagai alat untuk membungkam kritik masyarakat.

Usman Hamid, Direktur Amnesty Internasional Indonesia menyoroti kelemahan bukti dalam kasus Delpedro. Menurutnya, tindakan penahanan ini bisa menjadi bentuk kriminalisasi terhadap kebebasan berpendapat. “Bukti yang ada sangat lemah untuk menjerat aktivis. Jika tidak ada unsur pidana, maka penyidikan harus dihentikan. Penahanan seharusnya tidak digunakan untuk membungkam kebebasan berpendapat,” jelas Usman.

Ia juga mendesak agar aparat bersikap transparan dalam menyampaikan proses penyidikan, sehingga publik bisa menilai apakah penegakan hukum berjalan sesuai prosedur atau justru menyimpang dari asas keadilan.

I Wayan Sudirta, Anggota Komisi III DPR RI menilai penangkapan massal terhadap aktivis dan pelajar sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Menurutnya, perlakuan aparat menunjukkan indikasi adanya pelanggaran prinsip due process of law.

“Penangkapan massal terhadap pelajar dan aktivis menunjukkan adanya pelanggaran HAM. DPR perlu membentuk komisi khusus untuk mengungkap fakta kerusuhan dan pihak yang sebenarnya bertanggung jawab,” kata Wayan.

Ia juga mengingatkan bahwa DPR memiliki kewenangan untuk mengawasi aparat penegak hukum agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang. Transparansi, menurutnya, adalah kunci untuk mengembalikan kepercayaan publik.

KontraS menyebut tuduhan penghasutan terhadap Delpedro sebagai bentuk kriminalisasi yang berpotensi mengekang ruang demokrasi. “Kriminalisasi dengan tuduhan penghasutan justru berpotensi membungkam anak muda dalam berdemokrasi. Ini mengancam partisipasi publik yang sehat,” tegas perwakilan KontraS.

KontraS menilai aparat harus membedakan dengan jelas antara tindak pidana murni dengan hak konstitusional warga negara dalam berekspresi dan menyampaikan pendapat di muka umum.

Transparansi, Akuntabilitas, dan Usulan Solusi

Para narasumber sepakat bahwa transparansi dan akuntabilitas adalah kunci untuk menjaga keadilan dalam kasus ini. Mekanisme praperadilan dinilai dapat menjadi jalan untuk menguji sah atau tidaknya penetapan tersangka terhadap Delpedro.

Usulan pembentukan komisi investigasi DPR juga mendapat sorotan, karena dinilai dapat membantu mengungkap fakta-fakta di balik kerusuhan secara lebih independen. Selain itu, pengawasan dari lembaga sipil seperti Kompolnas, Amnesty, dan KontraS dianggap penting untuk menekan potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat.

Kesimpulan

Kasus Delpedro Marhaen membuka kembali perdebatan tentang batas antara penegakan hukum dan perlindungan kebebasan berpendapat. Di satu sisi, aparat menekankan prosedur hukum dan keberadaan bukti; di sisi lain, organisasi masyarakat sipil melihat adanya potensi kriminalisasi.

Apapun hasilnya, publik berharap proses hukum berjalan adil, transparan, dan tidak dijadikan instrumen politik. Demokrasi yang sehat hanya bisa terwujud apabila negara mampu menyeimbangkan antara penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia.

Baca juga: 203 Anak Diamankan Usai Aksi di DPR: KPAI Awasi Proses, Yusril Dorong Restorative Justice

Baca juga: Mantan Penyidik KPK Soroti Lambannya Penetapan Tersangka dalam Kasus Dugaan Korupsi Kuota Haji

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *