kawanjarinews.com – Jakarta – Fenomena mencuatnya grup media sosial berisi konten penyimpangan seksual bertema inses dengan nama “Fantasi Sedarah” diketahui publik sejak pertengahan Mei 2025 dan langsung menuai kemarahan luas.
Grup dengan anggota lebih dari 30.000 orang ini tersebar di platform Facebook yang dikelola oleh perusahaan teknologi Meta. Namun pengaruhnya meluas secara digital dan berdampak secara sosial ke berbagai wilayah di Indonesia.
Grup “Fantasi Sedarah” diketahui menyebarkan narasi penyimpangan seksual dalam bentuk fantasi hubungan sedarah yang secara terang-terangan dipublikasikan melalui media sosial. Bahkan terdapat indikasi kuat eksploitasi seksual terhadap anak yang sangat meresahkan. Konten-konten dalam grup tersebut secara nyata melanggar norma agama, hukum, dan moral bangsa Indonesia.
Grup tersebut dikelola oleh akun anonim, namun diduga melibatkan jaringan akun palsu dan akun sungguhan dari berbagai wilayah. Anak-anak yang tinggal serumah dengan pelaku atau pengikut grup menjadi pihak yang sangat rentan terdampak. Pemerintah, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), serta Kominfo melalui Direktorat Jenderal Pengawasan Ruang Digital (KOMDiGi) turut menanggapi kasus ini dengan serius.
Selain karena menyimpang secara moral dan hukum, kasus ini dinilai berpotensi menjadi pemicu penyimpangan nyata dalam masyarakat. Kekhawatiran muncul bahwa normalisasi fantasi tersebut akan mendorong tindakan kekerasan seksual terhadap anak dan memperparah kerentanan anak-anak dalam keluarga yang seharusnya menjadi ruang perlindungan.
“Lebih dari 50% pelaku kekerasan terhadap anak berasal dari orang terdekat seperti orang tua, wali, atau saudara kandung,” ungkap Ketua KPAI Ai Maryati Solihah.
Guru Besar Kriminologi Prof. Adrianus Meliala menyatakan bahwa fenomena ini menunjukkan adanya pasar yang terbentuk karena fantasi seksual yang makin dinormalisasi.
“Ini bukan sekadar konten menyimpang, tapi indikasi dari hasrat menyimpang yang mulai dicarikan pembenaran sosial. Bila tidak segera ditindak, ia bisa menjadi dasar tindakan kriminal yang nyata,” ujar Prof. Adrianus.
Bagaimana Langkah yang Sudah dan Akan Diambil?
KPAI melakukan koordinasi dengan aparat penegak hukum dan mendorong Kementerian serta UPTD terkait melakukan tracing dan intervensi terhadap anak-anak yang kemungkinan terdampak.
KemenPPPA menyatakan siap memberi pendampingan dan pemulihan terhadap anak yang terpapar atau berisiko menjadi korban kekerasan seksual.
“Kami tidak akan tinggal diam. Semua anak berhak atas perlindungan dari kekerasan, baik di dunia nyata maupun digital,” tegas Menteri PPPA, Bintang Puspayoga.
Kominfo/KOMDiGi telah men-take down grup dan 98 konten serupa dari Facebook serta 17 akun dari platform X (Twitter).
“Kita harus terus-menerus melakukan patroli siber agar ruang digital tidak dijadikan tempat pembenaran bagi penyimpangan,” jelas Dirjen KOMDiGi, Semuel Abrijani Pangerapan.
Polri sedang melakukan pendalaman dan penyelidikan untuk mengungkap pelaku dan admin grup. Penegakan hukum dilakukan oleh Direktorat Siber Polda Metro Jaya yang rencananya akan segera menyampaikan update resmi.
Kasus ini mencerminkan urgensi perlindungan ruang digital, khususnya dari konten yang membahayakan anak-anak. Diperlukan aksi cepat, lintas lembaga, dan dukungan dari masyarakat untuk memastikan keselamatan anak serta menjaga ruang digital tetap aman dan bersih dari penyimpangan seksual.
Baca juga: Presiden Prabowo: Pemerintah Tidak Gentar Bongkar Kasus Korupsi, Meski Penegak Hukum Diancam