kawanjarinews.com – Jakarta – Implementasi Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU HKPD) sejak awal 2024 justru berdampak negatif terhadap penerimaan pajak daerah. Pada semester I-2025, realisasi pendapatan pajak daerah tercatat mengalami kontraksi 8,06% secara tahunan (year-on-year).
Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kementerian Keuangan, Lydia Kurniawati Chrityana, menyebut ketidaksiapan pemerintah daerah dalam mengadopsi sistem baru sebagai salah satu penyebab utama penurunan tersebut.
“Ada perubahan mendasar dalam UU HKPD. Tapi apakah kesiapan fiskus daerah sudah merata dari Sabang sampai Merauke? Ini tantangan besar,” ujarnya dalam diskusi publik UPN Jakarta, Kamis (10/7/2025).
UU HKPD membawa sejumlah reformasi fiskal, termasuk penyaluran langsung opsen atas Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), pengenalan Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT), serta kenaikan batas atas tarif Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 0,5%.
Namun, reformasi ini belum diimbangi kesiapan teknis di daerah. Kesenjangan kapasitas fiskal antar daerah makin terasa, ditambah lemahnya integrasi sistem antara SIKD Kemenkeu dan SIPD Kemendagri yang berdampak pada keterlambatan dan ketidakakuratan pelaporan.
“Banyak daerah belum memperbarui data. Sistem belum sepenuhnya sinkron, ini berpengaruh ke pelaporan nasional,” kata Lydia.
Faktor lain yang menekan penerimaan ialah kebijakan insentif pajak di sejumlah daerah berupa penghapusan denda dan bunga, meskipun tidak secara eksplisit disebut sebagai pemutihan dalam UU.
“Secara legal bukan pemutihan, tapi dampaknya jelas mengurangi potensi pendapatan,” tambahnya.
Ia menekankan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak otomatis mendorong kenaikan pajak daerah. Pemda dituntut aktif dalam intensifikasi dan ekstensifikasi pajak, disertai strategi fiskal yang matang dan SDM yang mumpuni.
Menanggapi kondisi ini, Yulianto Kiswocahyono, Wakil Ketua Komite Tetap Bidang Fiskal dan Moneter KADIN Jawa Timur, menilai bahwa implementasi UU HKPD perlu dievaluasi secara menyeluruh.
“Reformasi fiskal ini punya niat baik, tapi terlalu teknokratis. Banyak daerah belum punya infrastruktur dan SDM yang memadai. Jika dipaksakan, yang terjadi ya seperti sekarang pendapatan turun, daerah jadi semakin bergantung ke pusat,” ujar Yulianto.
Ia juga menyoroti pentingnya pendampingan dari pemerintah pusat, terutama dalam bentuk asistensi teknis dan pelatihan fiskus daerah. “Tanpa intervensi serius, tujuan memperkuat otonomi fiskal akan jauh panggang dari api,” pungkasnya.
Baca juga: IWPI Gugat Menkeu Sri Mulyani, Soroti Ketidakhadiran dalam Sidang Perdana