kawanjarinews.com – Jakarta — Polemik batas wilayah antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara atas empat pulau di kawasan perbatasan terus berlarut, meski Kementerian Dalam Negeri (KEMENDAGRI) telah mengeluarkan keputusan administratif yang menetapkan keempat pulau tersebut masuk ke wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Pemerintah Provinsi Aceh menolak keputusan tersebut dan menilai ada kekeliruan administratif serta pengabaian terhadap kesepakatan historis antara kedua provinsi.
KEMENDAGRI pada April 2025 menetapkan bahwa Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang masuk ke dalam wilayah Provinsi Sumatera Utara, dengan dasar pertimbangan jarak geografis yang lebih dekat. Pemerintah Aceh menilai keputusan ini tidak sah secara prosedural dan mengabaikan dokumen kesepakatan tahun 1992 yang menyatakan pulau-pulau itu berada di bawah yurisdiksi Aceh.
“Kami memiliki dokumen lengkap, termasuk peta dan keputusan bersama antara Gubernur Aceh dan Gubernur Sumatera Utara pada 1992 yang menyatakan bahwa keempat pulau itu milik Aceh,” ujar Dr. Jafar Husein, Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Syiah Kuala.
Pihak yang terlibat dalam sengketa ini antara lain Pemerintah Provinsi Aceh, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil, Pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah, dan Kemendagri selaku otoritas administratif.
“Pulau itu bukan hadiah untuk siapa-siapa. Ini hasil verifikasi panjang dari pemerintah pusat. Kami di Tapanuli Tengah tetap menghormati proses dialog antar pemerintah,” tegas Bupati Tapanuli Tengah, Masinton Pasaribu.
Sengketa atas status kepemilikan empat pulau tersebut dimulai sejak tahun 2008 dan kini telah berlangsung selama 17 tahun, tanpa penyelesaian yang final di tingkat nasional maupun antar daerah.
Keempat pulau terletak di kawasan laut yang berbatasan langsung antara Kabupaten Aceh Singkil dan Kabupaten Tapanuli Tengah. Meski batas darat kedua wilayah telah ditetapkan pada 2021–2022, batas laut antar provinsi belum pernah disepakati secara formal.
Pakar menyebut bahwa keputusan Mendagri tidak melalui prosedur yang utuh dan bertentangan dengan kesepakatan terdahulu.
“Kalau tidak ada kesepakatan baru, maka kesepakatan lama yang berlaku. Itu kaidah dasar dalam hukum tata negara dan administrasi,” terang Dr. Jafar.
“Faktor geografis tidak bisa menjadi dasar tunggal dalam menentukan batas wilayah. Di banyak kasus serupa di Indonesia, bahkan dunia, status wilayah tetap ditentukan oleh kesepakatan antardaerah, bukan sekadar jarak,” tambahnya.
Dialog dinilai sebagai jalan paling etis dan konstitusional untuk menyelesaikan sengketa ini. Baik pihak Pemprov Aceh maupun Pemkab Tapanuli Tengah menolak opsi penyelesaian melalui gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), mengingat hubungan hierarkis antara daerah dan pemerintah pusat.
“Kami tidak ingin persoalan ini dibawa ke PTUN. Lebih baik diselesaikan secara musyawarah antar pemerintah. Ini bukan konflik antarlembaga asing, tapi sesama entitas dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia,” ujar Masinton.
Pemerintah Provinsi Aceh disebut telah mengirimkan setidaknya tujuh surat resmi kepada Kemendagri untuk memfasilitasi dialog. Beberapa pertemuan yang pernah difasilitasi, seperti di Hotel Acacia Jakarta dan di Bali oleh Menko Polhukam, tidak menghasilkan keputusan final.
Dengan belum adanya kesepakatan baru yang menggugurkan kesepakatan tahun 1992, sejumlah pakar mendesak agar Kemendagri meninjau ulang keputusannya demi menjaga stabilitas hubungan antar daerah dan kedaulatan hukum di Indonesia. Penyelesaian damai berbasis hukum, dialog, dan asas keadilan diyakini sebagai solusi terbaik dalam meredakan ketegangan yang berkepanjangan.
Baca juga: Pemerintah Cabut Izin Tambang Nikel di Raja Ampat, Mensesneg: Arahan Langsung Presiden Prabowo