KawanJariNews.com – Surabaya, 30 Desember 2025 — Kajian hukum yang disusun Yulianto Kiswocahyono, S.E., S.H., BKP, Ketua Komite Fiskal dan Moneter KADIN Jawa Timur, menyoroti desain regulasi pengelolaan aset negara melalui pendekatan badan hukum khusus, dengan menekankan perlunya keseimbangan antara fleksibilitas korporasi dan akuntabilitas publik.
Kajian hukum mengenai pengelolaan aset negara melalui badan hukum khusus saat ini menjadi perhatian dalam diskursus kebijakan publik. Pendekatan pengelolaan berbasis korporasi dinilai dapat memberikan ruang fleksibilitas dan efisiensi, namun sejumlah pihak mengingatkan bahwa aspek pertanggungjawaban dan pengawasan negara tetap harus dijaga.
Pandangan tersebut disampaikan Yulianto Kiswocahyono, S.E., S.H., BKP, advokat dan konsultan pajak senior sekaligus Ketua Komite Fiskal dan Moneter KADIN Jawa Timur, melalui sebuah kajian normatif terkait desain regulasi pengelolaan aset negara dari perspektif hukum keuangan negara dan tata kelola. “Fleksibilitas korporasi merupakan kebutuhan dalam pengelolaan aset, namun tetap harus ditempatkan dalam kerangka akuntabilitas publik,” ujar Yulianto dalam keterangannya.
Dalam uraian kajiannya, Yulianto menjelaskan bahwa sistem hukum Indonesia mengenal konsep kekayaan negara yang dipisahkan, khususnya pada badan usaha atau badan hukum yang menerima penyertaan modal negara. Namun, pemisahan tersebut menurutnya bersifat yuridis dan administratif. Selama negara masih memiliki penyertaan modal, penguasaan, atau kendali strategis, maka aset yang dikelola badan hukum tersebut tetap memiliki keterkaitan dengan keuangan negara. “Pemisahan pengelolaan tidak serta-merta berarti pelepasan tanggung jawab negara atas aset tersebut,” jelasnya.
Lebih lanjut, Yulianto menilai bahwa mekanisme pengawasan tetap relevan dan menjadi unsur penting dalam tata kelola keuangan negara. Efektivitas pengawasan, menurutnya, sangat dipengaruhi oleh bagaimana regulasi diatur dan diimplementasikan. Ia mengingatkan bahwa regulasi yang tidak secara tegas memuat mekanisme audit dan transparansi berpotensi melemahkan praktik pengawasan meskipun secara normatif kewenangannya tetap ada. “Isu yang perlu diperhatikan adalah efektivitas pengawasan, bukan semata-mata ada atau tidaknya kewenangan,” katanya.
Kajian tersebut juga menyinggung prinsip Business Judgment Rule (BJR), yang menurut Yulianto kerap disalahartikan sebagai bentuk perlindungan mutlak bagi direksi. Ia menjelaskan BJR merupakan prinsip yang memberikan perlindungan terbatas terhadap keputusan bisnis yang diambil secara profesional, beritikad baik, dan bebas konflik kepentingan. “BJR tidak menghapus kemungkinan pertanggungjawaban hukum apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi,” ujarnya.
Selain itu, mengenai pemberian kewenangan khusus dalam pengadaan dan investasi, Yulianto menilai hal tersebut dimungkinkan secara normatif. Namun, ia menegaskan pentingnya pengaturan yang memadai untuk tetap memastikan penerapan prinsip tata kelola yang baik (good governance). Transparansi pengambilan keputusan, audit eksternal, dan pengaturan konflik kepentingan menjadi poin yang menurutnya patut diperhatikan dalam desain regulasi.
Isu pengelolaan aset negara melalui pendekatan korporasi menjadi bagian dari diskusi yang terus berkembang dalam kebijakan fiskal dan tata kelola pemerintahan. Kajian seperti yang disusun Yulianto berpotensi turut memberi masukan bagi pembentuk kebijakan untuk memperkuat fondasi regulasi serta memastikan keseimbangan antara fleksibilitas bisnis dan akuntabilitas publik dalam pengelolaan kekayaan negara.
Yulianto menutup kajiannya dengan menekankan urgensi penguatan regulasi yang menegaskan status keuangan negara atas penyertaan modal dan memastikan efektivitas pengawasan agar kepercayaan publik tetap terjaga. “Aset negara harus dikelola secara profesional, transparan, dan bertanggung jawab sesuai dengan prinsip tata kelola yang baik,” pungkasnya.










