Kemenkeu Pastikan APBN Tak Menalangi Utang Proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung

banner 468x60

KawanJariNews.com – Jakarta, 14 Oktober 2025 — Pemerintah menegaskan bahwa utang proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) atau Whoosh, yang mencapai sekitar Rp116 triliun, sepenuhnya menjadi tanggung jawab badan usaha milik negara (BUMN) dan konsorsium terkait. Kementerian Keuangan memastikan bahwa beban keuangan proyek tersebut tidak akan dialihkan ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Penegasan Pemerintah Terkait Tanggung Jawab Utang

Menteri Keuangan Purbaya menyatakan bahwa proyek Kereta Cepat Whoosh didanai melalui skema bisnis antar-badan usaha (business to business/B2B), bukan proyek pemerintah. Karena itu, pemerintah tidak dapat menggunakan dana APBN untuk menalangi kewajiban pembayaran utang. “Utang tersebut menjadi tanggung jawab badan usaha yang terlibat dan tidak boleh membebani keuangan negara,” ujar Purbaya.

Ia menambahkan, keputusan ini sejalan dengan regulasi pengelolaan keuangan negara yang melarang penggunaan dana publik untuk menanggung utang entitas bisnis. Pemerintah, kata dia, hanya berperan sebagai fasilitator dalam menjaga stabilitas makroekonomi agar tidak terdampak oleh kewajiban keuangan proyek tersebut.

Keterlibatan dan Tanggung Jawab Badan Usaha

Proyek Kereta Cepat Whoosh dijalankan oleh konsorsium PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), yang melibatkan PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) melalui Danantara, serta mitra dari Tiongkok. Pemerintah, melalui Kementerian Sekretariat Negara, menyatakan masih mencari solusi terbaik agar kewajiban pembayaran utang dapat diselesaikan secara profesional tanpa menimbulkan dampak fiskal.

Namun, sejumlah pihak menilai masih terdapat ketimpangan tanggung jawab antara pemerintah dan badan usaha, terutama terkait risiko keuangan dan keberlanjutan proyek jangka panjang.

Pandangan Ekonom dan Ahli Transportasi

Ekonom Political Economy and Policy Studies (PEPS), Antoni Budiawan, menilai biaya pembangunan proyek Kereta Cepat Whoosh terlalu tinggi dibandingkan standar internasional. Menurutnya, biaya per kilometer proyek ini mencapai sekitar 52 juta dolar AS, jauh di atas rata-rata global sebesar 17–30 juta dolar AS.

“Biaya yang sangat besar ini menimbulkan dugaan markup dan ketidakwajaran dalam struktur pembiayaan. Selain itu, bunga pinjaman dari China sebesar 2 persen dengan tambahan biaya overrun 3,4 persen menjadikan total beban bunga mencapai 75 persen dari nilai pembiayaan,” ujarnya.

Sementara itu, pengamat kebijakan publik Agus Pambagio, yang pernah terlibat dalam kajian awal proyek ini, mengungkapkan bahwa sejak awal dirinya telah memperingatkan bahwa proyek tersebut berisiko tinggi. Ia menyoroti keputusan pemerintah yang beralih dari penawaran Jepang ke China tanpa melalui proses tender terbuka. “Penunjukan langsung tanpa lelang melanggar prinsip transparansi dan akuntabilitas,” jelasnya.

Isu Tender dan Dugaan Ketidakwajaran Proyek

Baik Antoni maupun Agus menilai ada indikasi ketidakwajaran dan potensi pelanggaran prosedur dalam proses pengadaan proyek. Mereka menduga adanya markup biaya serta keputusan-keputusan yang diambil tanpa dasar kajian ekonomi yang kuat. Dugaan ini memperkuat desakan agar dilakukan audit menyeluruh terhadap tahapan awal proyek, termasuk proses penetapan mitra dan pembiayaan.

Agus juga menyarankan agar pemerintah segera melakukan negosiasi ulang (restructuring) dengan pihak China. “Negosiasi harus mencakup pengurangan pokok utang dan bunga, serta memperpanjang tenor pembayaran agar proyek tetap berkelanjutan,” ujarnya.

Langkah Pemerintah ke Depan

Pemerintah saat ini tengah mengkonsolidasikan langkah antarkementerian, termasuk Kementerian Keuangan dan Kementerian BUMN, untuk mengevaluasi biaya operasional, meninjau ulang kontrak, dan menyiapkan strategi restrukturisasi. Pengawasan terhadap potensi penyimpangan dan tata kelola proyek juga akan diperketat.

“Prinsip utama pemerintah adalah menjaga agar proyek ini tidak membebani fiskal negara, sekaligus memastikan akuntabilitas penggunaan dana publik,” kata Purbaya.

Proyek Kereta Cepat Whoosh merupakan proyek strategis nasional pertama di Asia Tenggara yang menggunakan teknologi tinggi berbasis kerja sama Indonesia–China. Sejak awal, proyek ini diharapkan menjadi simbol kemajuan infrastruktur transportasi modern di Indonesia. Namun, tingginya beban utang dan dugaan pelanggaran tata kelola kini menjadi tantangan besar bagi pemerintah dalam menjaga stabilitas ekonomi serta kepercayaan publik terhadap proyek infrastruktur besar.

Pengamat menilai, penyelesaian kasus ini akan menjadi tolok ukur transparansi dan profesionalisme pemerintah dalam mengelola proyek strategis di masa depan.

Kementerian Keuangan menegaskan bahwa pemerintah tetap berkomitmen menyelesaikan permasalahan utang proyek Kereta Cepat Whoosh melalui mekanisme bisnis yang adil dan transparan. Pemerintah juga membuka peluang untuk restrukturisasi dan audit independen guna memastikan keberlanjutan proyek serta mencegah terulangnya persoalan serupa di kemudian hari.

Baca juga: Saham Blue Chip Menguat di Tengah Sorotan Purbaya terhadap Saham Gorengan

Baca juga: Kelangkaan BBM Swasta Berlanjut, Pemerintah Evaluasi Izin Impor dan Investasi SPBU

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *