kawanjarinews.com – Bali, 21 Juli 2025 – Di tengah upaya penegakan hukum tata ruang dan pelestarian lingkungan pesisir, sejumlah pekerja pariwisata di kawasan Pantai Bingin, Kabupaten Badung, Bali, kini menghadapi kecemasan baru: kehilangan mata pencaharian.
Pembongkaran bangunan yang dinilai melanggar ketentuan zona sepadan pantai menjadi sorotan publik sejak dilakukan oleh pemerintah daerah setempat pada awal Juli 2025. Namun di balik langkah hukum tersebut, muncul pertanyaan tentang dampaknya terhadap kehidupan ratusan pekerja lokal yang selama ini menggantungkan hidup dari aktivitas ekonomi di kawasan tersebut.
Salah satu suara yang mengemuka datang dari Apridensius Keka, mahasiswa Fakultas Hukum yang juga bekerja di salah satu unit usaha pariwisata di Pantai Bingin. Dalam keterangannya kepada media, ia mengungkapkan keprihatinan atas kebijakan pembongkaran yang dinilainya abai terhadap aspek sosial.
“Pembongkaran bangunan ilegal memang diperlukan untuk menegakkan hukum tata ruang, tapi jangan lupakan bahwa di balik bangunan-bangunan itu ada puluhan, bahkan ratusan nyawa. Karyawan warung, staf vila, pekerja dapur, cleaning service, hingga buruh angkat, semua kini cemas kehilangan mata pencaharian,” ujar Apridensius.
Pemerintah daerah membongkar sejumlah bangunan permanen yang dianggap melanggar ketentuan sempadan pantai sebagaimana diatur dalam UU No. 27 Tahun 2007 jo. UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Dalam beleid tersebut, bangunan permanen dilarang berada dalam radius tertentu dari garis pasang tertinggi. Namun, pelaksanaan aturan tersebut menimbulkan ketegangan antara regulasi dan realitas sosial.
Pembongkaran dilakukan di sepanjang kawasan Pantai Bingin, sebuah destinasi wisata yang dikenal sejak 1980-an karena keindahan alam dan budaya lokalnya. Di sinilah interaksi masyarakat dengan ruang pesisir berlangsung secara turun-temurun, membentuk ruang hidup, ruang ekonomi, dan ruang sejarah.
Menurut Apridensius, kebijakan pembongkaran belum diiringi dengan solusi komprehensif bagi para pekerja terdampak. Ia mempertanyakan ke mana para pekerja akan direlokasi, apakah akan diberi pelatihan ulang, atau sekadar dibiarkan kehilangan harapan hidup.
“Saya percaya hukum tidak hanya bicara soal aturan, tapi juga tentang keadilan. Keadilan itu tidak boleh buta terhadap kenyataan sosial,” ucapnya.
“Jika hukum dijalankan tanpa hati nurani, maka yang tersisa hanyalah puing-puing tangis,” tambahnya.
Apridensius menegaskan bahwa aturan memang perlu ditegakkan, tetapi tidak boleh mengorbankan hak dasar warga negara sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Karyawan dan warga lokal tidak boleh menjadi korban dari ketidakadilan struktural,” tegasnya.
Ia juga menyinggung lemahnya sistem pengawasan dan perizinan di masa lalu yang memungkinkan kawasan pesisir berkembang tanpa pengendalian, namun kini masyarakat lokal yang harus menanggung akibatnya.
Sejumlah kalangan mendorong agar kebijakan tata ruang disertai pendekatan transisi yang adil (just transition), dengan memperhatikan hak-hak pekerja dan masyarakat adat. Pemerintah didorong tidak hanya menjalankan aturan secara tekstual, tetapi juga mempertimbangkan dampak sosial dan keberlanjutan kehidupan masyarakat pesisir.
Pantai Bingin bukan sekadar hamparan pasir dan ombak, ia adalah ruang hidup. Maka dalam penataan wilayah, suara warga yang hidup dan bekerja di sana layak menjadi bagian dari keputusan.
Hingga rilis ini diterbitkan, belum ada pernyataan resmi dari pihak pemerintah daerah terkait dampak sosial dari pembongkaran bangunan di Pantai Bingin. Redaksi masih berupaya menghubungi instansi terkait guna mendapatkan penjelasan lebih lanjut.
Baca juga: Fakultas Hukum Universitas MPU Tantular Resmikan Peluncuran Buku Jelajah Budaya