KawanJariNews.com – Jakarta, 8 Oktober 2025 — Perbedaan pandangan antara Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mencuat terkait lambatnya pembangunan kilang minyak baru oleh Pertamina. Hingga saat ini, Indonesia masih harus mengimpor sekitar 500 ribu barel BBM per hari karena kapasitas kilang dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan nasional.
Konsumsi bahan bakar minyak (BBM) nasional terus meningkat dan saat ini mencapai sekitar 1,6 juta barel per hari. Namun, kapasitas produksi dari enam kilang yang dioperasikan Pertamina melalui anak usahanya, Kilang Pertamina Internasional, hanya mencapai 1,1 juta barel per hari. Kilang-kilang tersebut berlokasi di Dumai (Riau), Plaju (Sumatera Selatan), Cilacap (Jawa Tengah), Balikpapan (Kalimantan Timur), Balongan (Jawa Barat), dan Kasim (Papua Barat).
Data dari CEIC Data dan BP PLC menunjukkan bahwa konsumsi BBM Indonesia mengalami tren kenaikan setelah pandemi, dengan lonjakan signifikan pada tahun 2023. Kondisi ini membuat Indonesia masih bergantung pada impor BBM untuk menutupi kekurangan pasokan sekitar setengah juta barel per hari.
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyatakan kekesalannya karena sejak 1998 Pertamina belum membangun kilang baru. Ia menyoroti bahwa rencana pembangunan tujuh kilang baru yang dicanangkan sejak 2018 tidak satu pun terealisasi hingga kini. “Sudah lebih dari dua dekade tidak ada penambahan kilang baru, padahal kebutuhan energi terus meningkat,” ujar Purbaya dalam rapat bersama Komisi XI DPR.
Menanggapi hal itu, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menjelaskan bahwa pemerintah saat ini tengah fokus pada percepatan pembangunan dan penyelesaian proyek kilang yang telah berjalan. Ia menegaskan bahwa kementeriannya bersama Pertamina berupaya menyelesaikan proyek sesuai jadwal, dan tidak ingin terjebak pada perdebatan yang bersifat saling menyalahkan.
Pembangunan kilang minyak di Indonesia menghadapi berbagai hambatan, mulai dari biaya investasi yang besar, keterbatasan teknologi, hingga regulasi yang kompleks. Menurut analisis Tri Yus Wijayanto Zainuri dari Institut Teknologi Bandung (ITB), biaya pembangunan kilang mencapai sekitar 10.000 dolar per barel kapasitas. Artinya, untuk kilang berkapasitas 60.000 barel per hari, dibutuhkan investasi sekitar 600 juta dolar AS.
Selain biaya, tantangan lain adalah standar lingkungan dan teknologi. Sebagian besar kilang di Indonesia masih menghasilkan bahan bakar dengan kadar sulfur tinggi, sekitar 500 ppm, sedangkan regulasi lingkungan menuntut kadar sulfur yang lebih rendah. Dengan kondisi tersebut, pembangunan kilang baru bukan hanya persoalan kapasitas, tetapi juga peningkatan kualitas produksi sesuai standar global.
Tri Yus juga menambahkan bahwa risiko over capacity dan lamanya proses studi kelayakan menjadi alasan utama lambatnya realisasi proyek. Sejak kilang Balongan dibangun pada 1984, belum ada kilang baru yang benar-benar beroperasi.
Perdebatan antara Purbaya dan Bahlil menunjukkan tantangan besar dalam tata kelola energi nasional. Pemerintah berkomitmen mempercepat pembangunan kilang baru, namun berbagai faktor teknis, regulasi, dan pembiayaan masih menjadi penghambat utama. Sementara solusi jangka pendek masih mengandalkan impor BBM, upaya peningkatan kapasitas produksi dalam negeri tetap harus dijalankan agar ketahanan energi nasional dapat terjaga.
Baca juga: 18 Gubernur Tolak Rencana Pemotongan Anggaran Daerah, Menkeu Janji Cari Solusi Terbaik