KawanJariNews.com – Jakarta, 29 September 2025 – Putusan Pengadilan Pajak Nomor: Put.28650/PP/M.XIII/16/2011 terkait sengketa PPN masa pajak April–Desember 2006 tidak hanya menjadi penyelesaian perkara teknis, melainkan juga memberikan pelajaran penting mengenai kepastian hukum, perbedaan perlakuan retur antara PPh Badan dan PPN, serta kompleksitas administrasi perpajakan di Indonesia.
Retur dalam PPh Badan vs. PPN
Majelis hakim menegaskan adanya perbedaan mendasar antara perlakuan retur dalam PPh Badan dan PPN:
- Dalam PPh Badan, retur otomatis menjadi pengurang penjualan tanpa syarat tambahan.
- Dalam PPN, retur hanya dapat mengurangi Dasar Pengenaan Pajak (DPP) apabila dilengkapi dokumen eksternal berupa Nota Retur.
Ketiadaan Nota Retur khususnya dalam transaksi dengan pembeli non-PKP atau pelaku usaha mikro kecil (UMKM) yang menggunakan Faktur Pajak Sederhana menjadi sumber persoalan. Secara substansi, penjualan dan retur barang sudah tercatat, namun secara formal aturan PPN tidak mengakuinya sebagai pengurang DPP.
Kritik atas Koreksi DJP
Majelis menilai koreksi Rp2,128 miliar yang dilakukan DJP tidak didukung bukti yang memadai. Koreksi tersebut hanya didasarkan pada ekualisasi dengan PPh Badan tanpa meneliti SPT Masa PPN di periode lain.
Menurut Majelis, pendekatan tersebut berpotensi menimbulkan pajak berganda dan tidak memenuhi asas keadilan. Koreksi pajak seharusnya berlandaskan bukti konkret, bukan perkiraan. Prinsip penting yang ditegaskan: “pajak harus berdasarkan kepastian hukum, bukan asumsi.”
Pesan bagi Wajib Pajak
Kasus ini menjadi pengingat bagi wajib pajak untuk lebih disiplin dalam administrasi retur. Banyak perusahaan hanya mengandalkan credit note internal sebagai bukti retur, padahal secara hukum dokumen tersebut tidak memiliki kekuatan untuk mengurangi PPN.
Tanpa Nota Retur, retur barang meskipun nyata terjadi tetap tidak dapat dipakai sebagai pengurang PPN yang terutang. Ini membuktikan bahwa ketertiban administrasi, sekecil apapun, sangat menentukan posisi wajib pajak dalam pemeriksaan maupun sengketa.
Pesan bagi Pemerintah
Putusan ini juga menyiratkan perlunya evaluasi kebijakan administrasi perpajakan. Retur Barang UMKM tidak diakui dalam peraturan perpajakan sehingga menimbulkan kesenjangan antara praktik bisnis dengan kewajiban administratif. Pelaku UMKM yang menggunakan Faktur Pajak Sederhana umumnya tidak terbiasa menerbitkan Nota Retur, sehingga transaksi retur tidak sah secara formal.
Kondisi ini menimbulkan beban tambahan bagi perusahaan besar yang sebenarnya telah tertib administrasi, tetapi akhirnya harus menghadapi ketidakpastian hanya karena retur barang dari UMKM tidak diakui di tingkat KPP.
Makna Lebih Luas
Setidaknya ada tiga makna penting yang dapat dipetik dari putusan ini:
- Dominasi aspek administratif – hukum pajak lebih menitikberatkan pada dokumen formal dibanding substansi transaksi.
- Pentingnya kepastian hukum – baik fiskus maupun wajib pajak memerlukan kepastian agar sengketa tidak terus berulang.
- Sumber sengketa – sering kali bukan karena niat menghindari pajak, melainkan perbedaan tafsir dan kelemahan sistem administrasi.
Majelis akhirnya membatalkan koreksi Rp2,128 miliar dan hanya mempertahankan koreksi Rp500.000 atas Pajak Masukan yang tidak terbukti. Total kewajiban pajak yang masih harus dibayar wajib pajak hanyalah Rp733.325, termasuk bunga administrasi.
Komentar Praktisi Pajak
Menanggapi putusan ini, Yulianto Kiswocahyono, SE., SH., BKP, Konsultan Pajak Senior sekaligus Ketua Komite Tetap Fiskal KADIN Jawa Timur, menegaskan perlunya menjadikan putusan tersebut sebagai rujukan hukum di tingkat lebih rendah.
“Seharusnya putusan ini dapat menjadi yurisprudensi bagi perkara serupa, sehingga sengketa yang sama tidak perlu lagi berulang di tingkat Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Prinsip kepastian hukum harus dijaga agar fiskus tidak lagi mengambil keputusan berdasarkan perkiraan, dan wajib pajak memiliki pegangan yang jelas,” ujar Yulianto.
Ia menambahkan, retur barang untuk UMKM yang masih menggunakan Faktur Pajak Sederhana tidak diakui dalam peraturan perpajakan, sehingga sering menjadi pemicu masalah. “Padahal, perusahaan yang sudah tertib administrasi justru mengalami kekacauan pencatatan hanya karena retur barang dari UMKM dianggap tidak sah. Hal ini seharusnya menjadi perhatian serius bagi pembuat kebijakan,” jelasnya.
Menurut Yulianto, penerapan yurisprudensi dari putusan semacam ini dapat mengurangi beban sengketa di Pengadilan Pajak sekaligus memperkuat kepercayaan publik terhadap konsistensi hukum pajak di Indonesia.
Baca juga: Pemkot Tangsel Klarifikasi Kritik Anggaran 2024, Wali Kota Tekankan Transparansi
Baca juga: Presiden Pimpin Rapat Koordinasi Terkait Insiden Keracunan Program Makan Bergizi Gratis