KawanJariNews.com – Jakarta, 16 Oktober 2025 – Beberapa waktu lalu publik dihebohkan oleh kasus di SMAN 1 Cimarga, Kabupaten Lebak, Banten. Seorang siswa kedapatan merokok di lingkungan sekolah, dan kepala sekolah diduga menamparnya sebagai bentuk teguran keras. Peristiwa itu terekam dan viral di media sosial. Orang tua siswa melapor ke polisi, hingga akhirnya kepala sekolah dinonaktifkan sementara oleh Pemerintah Provinsi Banten.
Banyak yang pro dan kontra. Ada yang membela kepala sekolah dengan alasan disiplin dan moral siswa perlu dikembalikan. Namun, tak sedikit pula yang menilai bahwa tindakan fisik tetap tidak bisa dibenarkan, apa pun alasannya.
Di titik inilah kita perlu merenung, bukan untuk mencari siapa yang benar atau salah, tapi untuk memahami bagaimana seharusnya pendidikan karakter diterapkan tanpa melanggar hukum dan tanpa menumbuhkan trauma.
Antara Tanggung Jawab dan Batas Kewenangan
Kepala sekolah dan guru memang punya tanggung jawab moral untuk mendidik dan menegakkan tata tertib. Namun di sisi lain, mereka juga terikat oleh aturan hukum yang melindungi hak anak di lingkungan pendidikan.
Pasal 54 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menegaskan: “Anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.”
Artinya, sekalipun niat seorang guru untuk menegur adalah demi kebaikan, cara yang digunakan harus sesuai dengan prosedur pembinaan, bukan hukuman fisik.
Peran Orang Tua yang Tidak Bisa Dikesampingkan
Kita juga tidak bisa hanya menyorot sisi sekolah. Orang tua memegang peranan penting dalam pembentukan karakter anak. Merokok di sekolah bukan hanya soal pelanggaran tata tertib, tapi juga cermin dari pembiasaan dan pengawasan di rumah.
Orang tua perlu hadir bukan sekadar saat anak dihukum, tapi sejak awal, menanamkan nilai, memberi teladan, dan menjalin komunikasi yang terbuka dengan pihak sekolah. Banyak kasus di sekolah yang seharusnya bisa diselesaikan secara kekeluargaan justru menjadi besar karena kurangnya komunikasi dan saling pengertian.
Langkah Solutif agar Kejadian Serupa Tidak Terulang
- Sekolah perlu memiliki SOP tegas untuk penanganan pelanggaran siswa. Pembinaan harus berbasis pendekatan psikologis dan edukatif, bukan emosional. Guru BK dan wali kelas sebaiknya dilibatkan secara aktif sebelum tindakan disiplin diambil.
- Pelatihan Etika Profesi dan Perlindungan Anak bagi tenaga pendidik. Guru dan kepala sekolah perlu dibekali dengan pemahaman hukum serta etika profesi agar tahu batas kewenangan dalam memberikan sanksi.
- Forum Komunikasi Sekolah–Orang Tua. Bangun wadah rutin seperti Parent Meeting atau Komite Pendidikan Aktif yang menjadi jembatan jika terjadi pelanggaran atau masalah di sekolah.
- Edukasi karakter sejak dini di rumah. Orang tua harus menjadi contoh utama. Bila anak melihat orang tuanya disiplin, jujur, dan menghormati aturan, maka nilai-nilai itu akan terbawa ke lingkungan sekolah.
- Pendekatan Restoratif, bukan Represif. Ketika pelanggaran terjadi, yang dibutuhkan bukan siapa yang harus disalahkan, melainkan bagaimana hubungan bisa dipulihkan dan karakter anak bisa dibentuk tanpa kekerasan.
Kasus di SMAN 1 Cimarga hendaknya tidak dipandang sebagai kegagalan satu pihak, tapi sebagai cermin bersama: bahwa pendidikan tidak hanya soal ilmu, tapi juga soal kasih, kesabaran, dan teladan. Kedisiplinan tidak harus keras, dan kasih sayang tidak boleh lembek. Keduanya harus berjalan seimbang agar sekolah tetap menjadi tempat belajar yang aman, bermartabat, dan membentuk manusia berkarakter.
Tulisan opini ini bertujuan edukatif dan reflektif, mengajak masyarakat memperkuat kolaborasi antara sekolah, orang tua, dan pemerintah dalam membangun karakter anak bangsa.
Baca juga: Dana Desa untuk Kesehatan dan Pencegahan Narkoba: Menjamin Desa Sehat dan Bebas Narkoba
Baca juga: BMKG Prediksi Cuaca Panas Ekstrem di Jakarta Berlanjut hingga Awal November